
amazingjogja.com – Yogyakarta kembali menjadi saksi atas dinamika politik nasional. Pada Kamis (27/3/2025), sekelompok massa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi menolak pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta, atau yang lebih dikenal sebagai Gedung Agung.
Aksi ini berlangsung sejak sore hingga malam hari, dengan berbagai bentuk protes, seperti orasi dan musikalisasi yang menggambarkan perlawanan terhadap kebijakan yang mereka anggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Para demonstran membawa berbagai atribut, mulai dari spanduk, poster, hingga alat musik yang mereka gunakan untuk mengiringi nyanyian protes. Suasana semakin memanas ketika sejumlah orator mulai menyampaikan kritik mereka terhadap revisi UU TNI, yang dinilai membuka peluang kembalinya dwifungsi militer.
Beberapa peserta aksi bahkan melakukan teatrikal yang menggambarkan bagaimana militer dapat kembali mendominasi kehidupan sipil jika revisi ini disahkan tanpa pengawasan ketat dari masyarakat.
Gelombang Protes dan Seruan Rakyat
Massa aksi memasang berbagai spanduk di sekitar Gedung Agung yang berisi tuntutan agar revisi UU TNI segera dicabut. Mereka menilai perubahan regulasi ini dapat mengembalikan dwifungsi militer yang sudah dihapus sejak Reformasi 1998. Selain itu, mereka juga mengkritik pemerintahan yang dianggap semakin otoriter.
Dalam orasi yang disampaikan oleh Bung Koes, juru bicara aliansi, disebutkan bahwa revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali semangat dwifungsi militer yang memungkinkan tentara menduduki jabatan sipil. “Saat ini, TNI bisa duduk di jabatan sipil dan berkuasa atas rakyat. Keleluasaan tentara dapat mengulangi kejahatan masa lalu,” ujarnya.
Selain menyoroti substansi revisi UU TNI, mereka juga mengecam tindakan aparat yang dinilai represif terhadap demonstran. Mereka mengingat aksi sebelumnya di DPRD DIY yang dibubarkan dengan water canon serta insiden kekerasan terhadap jurnalis dan mahasiswa di Malang.
Salah satu bentuk teror yang menjadi perhatian adalah ancaman terhadap jurnalis Tempo, yang menerima paket berisi potongan kepala babi dan bangkai tikus. Hal ini dianggap sebagai intimidasi terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
Gedung Agung, Saksi Perjalanan Bangsa
Di balik aksi yang terjadi di Gedung Agung, bangunan ini memiliki sejarah panjang dalam perjalanan bangsa Indonesia. Gedung Agung Yogyakarta merupakan salah satu dari enam Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Kompleks ini telah menjadi bagian dari sejarah politik sejak zaman kolonial, masa perjuangan kemerdekaan, hingga era modern.
Gedung Agung didirikan pada masa kolonial Belanda sebagai kediaman Residen Yogyakarta. Sejak era Perang Diponegoro (1825-1830), bangunan ini sudah mengalami berbagai renovasi. Ketika Republik Indonesia menghadapi agresi militer Belanda, Gedung Agung menjadi pusat pemerintahan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 1946-1949. Bahkan, Megawati Soekarnoputri lahir di tempat ini.
Pada masa kini, Gedung Agung tetap berfungsi sebagai istana kepresidenan yang sering digunakan untuk acara kenegaraan, termasuk transit bagi pejabat tinggi negara. Baru-baru ini, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengusulkan Gedung Agung sebagai lokasi transit bagi 505 kepala daerah sebelum menjalani retret kepemimpinan di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Agenda ini merupakan bagian dari pembekalan kepala daerah hasil Pemilu 2024 sebelum mereka resmi dilantik.
Gedung Agung sebagai Titik Temu Politik dan Sejarah
Dengan sejarah panjangnya, Gedung Agung Yogyakarta sering menjadi titik temu antara peristiwa politik dan sejarah bangsa. Di satu sisi, gedung ini menjadi tempat transit pejabat negara dalam agenda resmi, seperti retret kepala daerah yang akan diadakan di Akmil Magelang. Di sisi lain, lokasi ini juga menjadi saksi berbagai aksi demonstrasi yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial.
Aksi massa yang menolak revisi UU TNI di Gedung Agung menunjukkan bahwa gedung ini bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga menjadi ruang bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Benturan antara kepentingan negara dan suara rakyat sering kali terjadi di tempat ini, mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia.
Kesimpulan
Sejarah dan dinamika politik di Gedung Agung Yogyakarta terus berlanjut. Gedung ini bukan hanya menjadi tempat transit bagi pejabat tinggi, tetapi juga menjadi saksi berbagai gerakan sosial yang menuntut perubahan. Aksi demonstrasi menolak revisi UU TNI menjadi salah satu bukti bahwa Yogyakarta tetap menjadi pusat perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi dan hak sipil.
Ke depan, bagaimana pemerintah menanggapi kritik dan aspirasi rakyat akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas politik di Indonesia. Apakah revisi UU TNI akan tetap diberlakukan, atau justru akan mengalami perubahan karena tekanan publik? Waktu yang akan menjawabnya.